Jumat, 18 Januari 2013

Zikir - Zikir Setelah Shalat Wajib


Keutamaan Berdzikir


Di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah diterangkan tentang keutamaan berdzikir kepada Allah, baik yang sifatnya muqayyad (tertentu dan terikat) yaitu waktu, bilangannya dan caranya terikat sesuai dengan keterangan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, tidak boleh bagi kita untuk menambah atau mengurangi bilangannya, atau menentukan waktunya tanpa dalil, atau membuat cara-cara berdzikir tersendiri tanpa disertai dalil baik dari Al-Qur`an ataupun hadits yang shahih/hasan, seperti berdzikir secara berjama’ah (lebih jelasnya lihat kitab Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid, Al-Ibdaa’ fii Kamaalisy Syar’i wa Khatharul Ibtidaa’, Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah, dan lain-lain).

Atau dzikir-dzikir yang sifatnya muthlaq, yaitu dzikir di setiap keadaan baik berbaring, duduk dan berjalan sebagaimana diterangkan oleh ‘A`isyah bahwa beliau berdzikir di setiap keadaan (HR. Muslim). Akan tetapi tidak boleh berdzikir/menyebut nama Allah di tempat-tempat yang kotor dan najis seperti kamar mandi atau wc.

Diantara ayat yang menjelaskan keutamaan berdzikir adalah:

1. Firman Allah,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah:152)

2. Firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Al-Ahzaab:41)

3. Firman Allah,

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar/jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bershadaqah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzaab:35)

4. Firman Allah,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِين

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’raaf:205)

Adapun di dalam As-Sunnah, Diantaranya:

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Permisalan orang yang berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir kepada Allah adalah seperti orang yang hidup dan mati.” (HR. Al-Bukhariy no.6407 bersama Fathul Bari 11/208 dan Muslim 1/539 no.779)

Adapun lafazh Al-Imam Muslim adalah,

مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِيْ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Permisalan rumah yang di dalamnya disebut nama Allah dan rumah yang di dalamnya tidak disebut nama Allah adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.”

2. Dari ‘Abdullah bin Busrin radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam telah banyak atasku, maka kabarkan kepadaku dengan sesuatu yang aku akan mengikatkan diriku dengannya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

“Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidziy 5/458 dan Ibnu Majah 2/1246, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/139 dan Shahiih Sunan Ibni Maajah 2/317)

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah maka dia mendapat satu kebaikan dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” (HR. At-Tirmidziy 5/175, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/9 serta Shahiihul Jaami’ Ash-Shaghiir 5/340)

Dzikir-dzikir Setelah Salam dari Shalat Wajib

Diantara dzikir-dzikir yang sifatnya muqayyad adalah dzikir setelah salam dari shalat wajib. Setelah selesai mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, kita disunnahkan membaca dzikir, yaitu sebagai berikut:

1. Membaca:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ

“Aku meminta ampunan kepada Allah (tiga kali). Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Yang selamat dari kejelekan-kejelekan, kekurangan-kekurangan dan kerusakan-kerusakan) dan dari-Mu as-salaam (keselamatan), Maha Berkah Engkau Wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Baik.” (HR. Muslim 1/414)

2. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ, اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

“Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menolak terhadap apa yang Engkau beri dan tidak ada yang dapat memberi terhadap apa yang Engkau tolak dan orang yang memiliki kekayaan tidak dapat menghalangi dari siksa-Mu.” (HR. Al-Bukhariy 1/255 dan Muslim 414)

3. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ

“Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan upaya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada Allah, milik-Nya-lah segala kenikmatan, karunia, dan sanjungan yang baik, tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, kami mengikhlashkan agama untuk-Nya walaupun orang-orang kafir benci.” (HR. Muslim 1/415)

4. Membaca:

سُبْحَانَ اللهُ

“Maha Suci Allah.” (tiga puluh tiga kali)

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ

“Segala puji bagi Allah.” (tiga puluh tiga kali)

اَللهُ أَكْبَرُ

“Allah Maha Besar.” (tiga puluh tiga kali)

Kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan membaca,

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”

“Barangsiapa mengucapkan dzikir ini setelah selesai dari setiap shalat wajib, maka diampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan. (HR. Muslim 1/418 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada dua sifat (amalan) yang tidaklah seorang muslim menjaga keduanya (yaitu senantiasa mengamalkannya, pent) kecuali dia akan masuk jannah, dua amalan itu (sebenarnya) mudah, akan tetapi yang mengamalkannya sedikit, (dua amalan tersebut adalah): mensucikan Allah Ta’ala setelah selesai dari setiap shalat wajib sebanyak sepuluh kali (maksudnya membaca Subhaanallaah), memujinya (membaca Alhamdulillaah) sepuluh kali, dan bertakbir (membaca Allaahu Akbar) sepuluh kali, maka itulah jumlahnya 150 kali (dalam lima kali shalat sehari semalam, pent) diucapkan oleh lisan, akan tetapi menjadi 1500 dalam timbangan (di akhirat). Dan amalan yang kedua, bertakbir 34 kali ketika hendak tidur, bertahmid 33 kali dan bertasbih 33 kali (atau boleh tasbih dulu, tahmid baru takbir, pent), maka itulah 100 kali diucapkan oleh lisan dan 1000 kali dalam timbangan.”

Ibnu ‘Umar berkata, “Sungguh aku telah melihat Rasulullah menekuk tangan (yaitu jarinya) ketika mengucapkan dzikir-dzikir tersebut.”

Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dikatakan bahwa kedua amalan tersebut ringan/mudah akan tetapi sedikit yang mengamalkannya?“

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian ketika hendak tidur, lalu menjadikannya tertidur sebelum mengucapkan dzikir-dzikir tersebut, dan syaithan pun mendatanginya di dalam shalatnya (maksudnya setelah shalat), lalu mengingatkannya tentang kebutuhannya (lalu dia pun pergi) sebelum mengucapkannya.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud no.5065, At-Tirmidziy no.3471, An-Nasa`iy 3/74-75, Ibnu Majah no.926 dan Ahmad 2/161,205, lihat Shahiih Kitaab Al-Adzkaar, karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy 1/204)

Kita boleh berdzikir dengan tasbih, tahmid dan takbir masing-masing 33 kali dengan ditambah tahlil satu kali atau masing-masing 10 kali, yang penting konsisten, jika memilih yang 10 kali maka dalam satu hari kita memakai dzikir yang 10 kali tersebut.

Hadits ini selayaknya diperhatikan oleh kita semua, jangan sampai amalan yang sebenarnya mudah, tidak bisa kita amalkan.

Tentunya amalan/ibadah semudah apapun tidak akan terwujud kecuali dengan pertolongan Allah. Setiap beramal apapun seharusnya kita meminta pertolongan kepada Allah, dalam rangka merealisasikan firman Allah,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al-Faatihah:4)

5. Membaca surat Al-Ikhlaash, Al-Falaq dan An-Naas satu kali setelah shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya`. Adapun setelah shalat Maghrib dan Shubuh dibaca tiga kali. (HR. Abu Dawud 2/86 dan An-Nasa`iy 3/68, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/8, lihat juga Fathul Baari 9/62)

6. Membaca ayat kursi yaitu surat Al-Baqarah:255

Barangsiapa membaca ayat ini setiap selesai shalat tidak ada yang dapat mencegahnya masuk jannah kecuali maut. (HR. An-Nasa`iy dalam ‘Amalul yaum wal lailah no.100, Ibnus Sunniy no.121 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami’ 5/339 dan Silsilatul Ahaadiits Ash-Shahiihah 2/697 no.972)

7. Membaca:

اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua tangannya dan berkata, “Ya Mu’adz, Demi Allah, sungguh aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu Ya Mu’adz, janganlah sekali-kali engkau meninggalkan di setiap selesai shalat, ucapan...” (lihat di atas):

“Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud 2/86 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiih Sunan Abi Dawud 1/284)

Do’a ini bisa dibaca setelah tasyahhud dan sebelum salam atau setelah salam. (‘Aunul Ma’buud 4/269)

8. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, yang menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”

Dibaca sepuluh kali setelah shalat Maghrib dan Shubuh. (HR. At-Tirmidziy 5/515 dan Ahmad 4/227, lihat takhrijnya dalam Zaadul Ma’aad 1/300)

9. Membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima.” Setelah salam dari shalat shubuh. (HR. Ibnu Majah, lihat Shahiih Sunan Ibni Maajah 1/152 dan Majma’uz Zawaa`id 10/111)

Semoga kita diberikan taufiq oleh Allah sehingga bisa mengamalkan dzikir-dzikir ini, aamiin.

Wallaahu A’lam.

Maraaji’: Hishnul Muslim, karya Asy-Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthaniy, Shahiih Kitaab Al-Adzkaar wa Dha’iifihii, karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy dan Al-Kalimuth Thayyib, karya Ibnu Taimiyyah.



Rabu, 16 Januari 2013

Doa Istiftah

Doa Istiftah adalah doa yang dibaca ketika shalat, antara takbiratul ihram dan ta’awudz sebelum membaca surat Al Fatihah.

 
Hukum Membaca Doa Istiftah
 
Hukum membacanya adalah sunnah. Diantaranya dalilnya adalah hadist dari Abu Hurairah:
 
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره
 
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)
 
Setelah menyebut beberapa doa istiftah dalam kitab Al Adzkar, Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwa semua doa-doa ini hukumnya mustahabbah (sunnah) dalam shalat wajib maupun shalat sunnah” (Al Adzkar, 1/107).
 
Demikianlah pendapat jumhur ulama, kecuali Imam Malik rahimahullah. Beliau berpendapat, yang dibaca setelah takbiratul ihram adalah الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ yaitu surat Al Fatihah. Tentu saja pendapat beliau ini tidak tepat karena bertentangan dengan banyak dalil.
 
Macam-macam Doa Istiftah
 
Ada beberapa macam jenis doa istiftah yang dibaca oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sahabatnya, berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih.
 
Berikut ini macam-macam doa istiftah yang shahih, berdasarkan penelitian Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah terhadap dalil-dalil doa istiftah, yang tercantum dalam kitab beliau Sifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
 
Pertama
 
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ
 
“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air dingin” (HR.Bukhari 2/182, Muslim 2/98)
 
Doa ini biasa dibaca Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat fardhu. Doa ini adalah doa yang paling shahih diantara doa istiftah lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (2/183).
 
Kedua
 
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، اللهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي، وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
 
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang Maha Pencipta langit dan bumi sebagai muslim yang ikhlas dan aku bukan termasuk orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang aku berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau dan Maha Terpuji. Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku telah menzhalimi diriku sendiri dan akui dosa-dosaku. Karena itu ampunilah dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni segala dosa melainkan Engkau. Tunjukilah aku akhlak yang paling terbaik. Tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Jauhkanlah akhlak yang buruk dariku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya Engkau. Aka aku patuhi segala perintah-Mu, dan akan aku tolong agama-Mu. Segala kebaikan berada di tangan-Mu. Sedangkan keburukan tidak datang dari Mu. Orang yang tidak tersesat hanyalah orang yang Engkau beri petunjuk. Aku berpegang teguh dengan-Mu dan kepada-Mu. Tidak ada keberhasilan dan jalan keluar kecuali dari Mu. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Kumohon ampunan dariMu dan aku bertobat kepadaMu” (HR. Muslim 2/185 – 186)
 
Doa ini biasa dibaca Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat fardhu dan shalat sunnah.
 
Ketiga
 
اللَّهِ أَكْبَرُ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ
 
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang Maha Pencipta langit dan bumi sebagai muslim yang ikhlas dan aku bukan termasuk orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang aku berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau dan Maha Terpuji”. (HR. An Nasa-i, 1/143. Di shahihkan Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi 1/251)
 
Keempat
 
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ
 
“Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang aku berserah diri. Ya Allah, tunjukilah aku amal dan akhlak yang terbaik. Tidak ada yang dapat menujukkanku kepadanya kecuali Engkau. Jauhkanlah aku dari amal dan akhlak yang buruk. Tidak ada yang dapat menjauhkanku darinya kecuali Engkau”. (HR. An Nasa-i 1/141, Ad Daruquthni 112)
 
Kelima
 
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
 
“Maha suci Engkau, ya Allah. Ku sucikan nama-Mu dengan memuji-Mu. Nama-Mu penuh berkah. Maha tinggi Engkau. Tidak ilah yang berhak disembah selain Engkau” (HR.Abu Daud 1/124, An Nasa-i, 1/143, At Tirmidzi 2/9-10, Ad Darimi 1/282, Ibnu Maajah 1/268. Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri, dihasankan oleh Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi 1/252)
 
Doa ini juga diriwayatkan dari sahabat lain secara marfu’, yaitu dari ‘Aisyah, Anas bin Malik dan Jabir Radhiallahu’anhum. Bahkan Imam Muslim membawakan riwayat :
 
أن عمر بن الخطاب كان يجهر بهؤلاء الكلمات يقول : سبحانك اللهم وبحمدك . تبارك اسمك وتعالى جدك . ولا إله غيرك
 
“Umar bin Khattab pernah menjahrkan doa ini (ketika shalat) : (lalu menyebut doa di atas)” (HR. Muslim no.399)
 
Demikianlah, doa ini banyak diamalkan oleh para sahabat Nabi, sehingga para ulama pun banyak yang lebih menyukai untuk mengamalkan doa ini dalam shalat. Selain itu doa ini cukup singkat dan sangat tepat bagi imam yang mengimami banyak orang yang kondisinya lemah, semisal anak-anak dan orang tua.
 
Keenam
 
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ
 
3x لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
 
3x اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا
 
“Maha suci Engkau, ya Allah. Ku sucikan nama-Mu dengan memuji-Mu. Nama-Mu penuh berkah. Maha tinggi Engkau. Tidak ilah yang berhak disembah selain Engkau, Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah (3x), Allah Maha Besar (3x)” (HR.Abu Daud 1/124, dihasankan oleh Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi 1/252)
 
Ketujuh
 
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
 
“Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang” (HR. Muslim 2/99)
 
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:
 
بينما نحن نصلي مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إذ قال رجل من القوم: … فذكره. فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” عجبت لها! فتحت لها أبواب السماء “. قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول ذلك
 
“Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa istiftah: (lalu disebutkan doa di atas). Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit‘. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”.
 
Kedelapan
 
الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
 
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, pujian yang terbaik dan pujian yang penuh keberkahan di dalamnya” (HR. Muslim 2/99).
 
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu, ketika ada seorang lelaki yang membaca doa istiftah tersebut, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
 
لقد رأيت اثني عشر ملكاً يبتدرونها ؛ أيهم يرفعها
 
“Aku melihat dua belas malaikat bersegera menuju kepadanya. Mereka saling berlomba untuk mengangkat doa itu (kepada Allah Ta’ala)”
 
Kesembilan
 
اللَّهُمَّ لَكَ الحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ الحَقُّ وَوَعْدُكَ الحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ، وَقَوْلُكَ حَقٌّ، وَالجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ المُقَدِّمُ، وَأَنْتَ المُؤَخِّرُ، لاَ إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
 
“Ya Allah, segala puji bagi Engkau. Engkau pemelihara langit dan bumi serta orang-orang yang berada di dalamnya. Segala puji bagi Engkau. Engkau memiliki kerajaan langit, bumi dan siapa saja yang berada di dalamnya. Segala puji bagi Engkau. Engkau adalah cahaya bagi langit, bumi dan siapa saja yang berada di dalamnya. Segala puji bagi Engkau. Engkau Raja langit dan bumi dan Raja bagi siapa saja yang berada di dalamnya. Segala puji bagi Engkau. Engkaulah Al Haq. Janji-Mu pasti benar, firman-Mu pasti benar, pertemuan dengan-Mu pasti benar, firman-Mu pasti benar, surga itu benar adanya, neraka itu benar adanya, para nabi itu membawa kebenaran, dan Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam itu membawa kebenaran, hari kiamat itu benar adanya. Ya Allah, kepada-Mu lah aku berserah diri.Kepada-Mu lah aku beriman. Kepada-Mu lah aku bertawakal. Kepada-Mu lah aku bertaubat. Kepada-Mu lah aku mengadu. Dan kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah dosa-dosaku. Baik yang telah aku lakukan maupun yang belum aku lakukan. Baik apa yang aku sembunyikan maupun yang aku nyatakan. Engkaulah Al Muqaddim dan Al Muakhir. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau” (HR. Bukhari 2/3, 2/4, 11/99, 13/366 – 367, 13/399, Muslim 2/184)
 
Doa istiftah ini sering dibaca Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam ketika shalat malam. Namun tetap masyru’ juga dibaca pada shalat wajib dan shalat yang lain.
 
Kesepuluh
 
اللهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
 
“Ya Allah, Rabb-nya malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil. Pencipta langit dan bumi. Yang mengetahui hal ghaib dan juga nyata. Engkaulah hakim di antara hamba-hamba-Mu dalam hal-hal yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku kebenaran dalam apa yang diperselisihkan, dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk menuju jalan yang lurus, kepada siapa saja yang Engkau kehendaki” (HR. Muslim 2/185)
 
Doa istiftah ini juga sering dibaca Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam ketika shalat malam. Namun tetap masyru’ juga dibaca pada shalat wajib dan shalat yang lain.
 
Kesebelas
 
10x الله اكبر
10x الحمد لله
10x لا اله الا الله
10x استغفر الله
10x اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ،وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي
10x اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيقِ يَوْمَ الْحِسَابِ
 
“Allah Maha Besar” 10x
“Segala pujian bagi Allah” 10x
“Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah” 10x
“Aku memohon ampun kepada Allah” 10x
“Ya Allah, ampunilah aku, berilah aku petunjuk, berilah aku rizki, dan berilah aku kesehatan” 10x
“Ya Allah, aku berlindung dari kesempitan di hari kiamat” 10x
 
(HR. Ahmad 6/143, Ath Thabrani dalam Al Ausath 62/2. Dihasankan Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi 1/267)
 
Kedua Belas
 
اللَّهُ أَكْبَرُ [ثلاثاً] ، ذُو الْمَلَكُوتِ، وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
 
“Allah Maha Besar” 3x
“Yang memiliki kerajaan besar, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan” (HR. Ath Thayalisi 56, Al Baihaqi 2/121 – 122)
 
Adab Membaca Doa Istiftah
 
Beberapa adab membaca doa istiftah dijelaskan oleh Imam An Nawawi dalam kitab Al Adzkar (1/107) :
 
Disunnahkan menggabung beberapa doa istiftah, dalam shalat yang sendirian. Atau juga bagi imam, bila diizinkan oleh makmum. Jika makmum tidak mengizinkan, maka jangan membaca doa yang terlalu panjang. Bahkan sebaiknya membaca yang singkat. Imam An Nawawi nampaknya mengisyaratkan hadits:
 
إذا أم أحدكم الناس فليخفف . فإن فيهم الصغير والكبير والضعيف والمريض . فإذا صلى وحده فليصل كيف شاء
 
“Jika seseorang menjadi imam, hendaknya ia ringankan shalatnya. Karena di barisan makmum terdapat anak kecil, orang tua, orang lemah, orang sakit. Adapun jika shalat sendirian, barulah shalat sesuai keinginannya” (HR.Muslim 467)
  1. Jika datang sebagai makmum masbuk, tetap membaca doa istiftah. Kecuali jika sudah akan segera ruku’, dan khawatir tidak sempat membaca Al Fatihah. Jika demikian keadaannya, sebaiknya tidak perlu membaca istiftah, namun berusaha menyelesaikan membaca Al Fatihah. Karena membaca Al Fatihah itu rukun shalat.
  2. Jika mendapati imam tidak sedang berdiri, misalnya sedang rukuk, atau duduk di antara dua sujud atau sedang sujud, maka makmum langsung mengikuti posisi imam dan membaca sebagaimana yang dibaca imam. Tidak perlu membaca doa istiftah ketika itu. 
  3. Para ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat mengenai anjuran membaca doa istiftah ketika shalat jenazah. Menurut An Nawawi, yang lebih tepat adalah tidak perlu membacanya, karena shalat jenazah itu sudah selayaknya ringan.
  4. Membaca doa istiftah itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Jika seseorang meninggalkannya, tidak perlu sujud sahwi.
  5. Yang sesuai sunnah, doa istiftah dibaca dengan sirr (lirih). Jika dibaca dengan jahr (keras) hukumnya makruh, namun tidak membatalkan shalat.

Rabu, 02 Januari 2013

Kisah Cinta Ali & Fatimah

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.


Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan! ‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.. Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.

Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..” ”Aku?”, tanyanya tak yakin. ”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..” ”Apa maksudmu?” ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” ”Dasar bodoh! bodoh!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu ------------------------------------------------------------------------------------------------------------   Kawan, cinta itu terlihat indah karena perkataan, manis dengan perbuatan namun menjadi kuat karena diperjuangkan.   Cinta itu harus dimiliki, tentunya dengan seijin sang pemilik hati Allah Azzawajalla. Jika Cinta itu tak bisa engkau miliki berarti itu hanya sebuah nafsu yang tidak diijinkan oleh Allah untuk dimiliki.   Semoga Kisah Ali & Fatimah bisa menginspirasi kita semua untuk mengejar cinta yang kita inginkan...   Barrakallah   Adi Nugroho